Kamis, 24 Maret 2022

 

2.2.a.9. Koneksi Antar Materi - Pembelajaran Sosial dan Emosional

 


Sebagai seorang guru/pendidik, pernahkah anda merasakan saat Anda melakukan pembelajaran di kelas tetapi pikiran Anda memikirkan hal-hal lain di luar pembelajaran? Seperti memikirkan proposal kegiatan murid, rapat dengan dewan guru, laporan keuangan, masalah keluarga dan lain sebagainya? Apa yang Anda rasakan saat dalam kondisi tersebut?

Mungkin Anda akan merasa tertekan dengan pikiran yang begitu banyak, gagal fokus, bahkan bisa jadi stress. Kemudian, sadarkah Anda? Bahwa kondisi tersebut dapat mempengaruhi sikap social dan emosional Anda sebagai  guru sehingga berdampak pada sikap Tindakan Anda saat pembelajaran, mudah marah, mudah menyalahkan, bahkan salah dalam mengambil keputusan.

Gambar 1. Roda Emosi

Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas seorang guru tidak hanya kegiatan belajar mengajar saja, tetapi juga dapat ditunjuk untuk mengurusi berbagai hal dan juga berbagai jabatan, seperti kurikulum, keuangan, kegiatan kesiswaan, kegiatan keagamaan, hari besar, kegiatan kedinasan, dan berbagai keperluan sekolah lainnya. Sering kali tugas-tugas datang dalam waktu yang bersamaan sehingga guru menjadi kehilangan konsentrasi, dan tertekan dengan berbagai pikiran yang harus diselesaikan.

Selain guru, murid-murid pun dapat mengalami situasi yang sama. selain mendapat tugas-tugas akademik dan non akademik , mereka juga dihadapkan dengan pertumbuhan dan perkembangan diri, hubungan pertemanan, keluarga, mempersiapkan masa depan yang akan dicapai dan sebagainya.

 Untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan yang kompleks ini, baik pendidik maupun murid membutuhkan berbagai bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan agar dapat mengelola kehidupan personal maupun sosialnya.  Pembelajaran di sekolah harus dapat mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, baik aspek kognitif, fisik,  sosial dan emosional. Perlunya mengembangkan potensi diridan juga membekali diri dengan kompetensi social-emosional dalam menghadapi berbagai kondisi. Dengan keterampilan social-emosional kita dapat menghadirkan kesadaran diri, pengendalian diri, kesadaran social, keterampilan membangun relasi, dan juga mengambil keputusan yang bertanggung jawab.

Kompetensi Sosial-Emosional


Gambar 2. Kompetensi Sosial Emosioanal CASEL

Mengacu pada kerangka CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning) (www.casel.org), Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional.

 Pembelajaran sosial dan emosional menurut kerangka CASEL bertujuan untuk mengembangkan 5 Kompetensi Sosial Emosional (KSE), di antaranya adalah:

1.       memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi (kesadaran diri)

2.       menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3.       merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)

4.       membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi)

5.       membuat keputusan yang bertanggung jawab.  (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

 

Implementasi Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE)  dapat dilakukan dengan 4 cara:

1.       Mengajarkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE)  secara spesifik dan eksplisit

2.       Mengintegrasikan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) ke dalam praktik mengajar guru dan gaya interaksi dengan murid

3.       Mengubah kebijakan dan ekspektasi sekolah terhadap murid

4.       Mempengaruhi pola pikir murid tentang persepsi diri, orang lain dan lingkungan.

 

Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis kesadaran penuh yang dilakukan secara terhubung, terkoordinasi, aktif, fokus, dan eksplisit diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan hidup (Well-being) ekosistem sekolah. Menurut kamus Oxford English Dictionary, well-being dapat diartikan sebagai kondisi nyaman, sehat, dan bahagia. Well-being (kesejahteraan hidup)  adalah sebuah kondisi individu yang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Menurut Mcgrath & Noble, 2011, murid yang memiliki tingkat well-being yang optimum memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi, kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, memiliki ketangguhan (daya lenting/resiliensi) dalam menghadapi stress dan terlibat dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab.

 Menurut Hawkins (2017), latihan berkesadaran penuh (mindfulness) dapat membangun keterhubungan diri sendiri (self-awareness) dengan berbagai kompetensi emosi dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, sebelum memberikan respon dalam sebuah situasi sosial yang menantang, kita berhenti, bernapas dengan sadar, mengamati pikiran, perasaan diri sendiri maupun orang lain, mengelola emosi yang muncul, hingga dapat membuat pilihan/mengambil keputusan yang lebih responsif, bukan reaktif.

 Pada saat menghadapi kondisi menantang, misalnya pada saat seorang guru berhadapan dengan perilaku murid yang dinilai tidak disiplin, mekanisme kerja otak akan mengarahkan diri untuk berhenti, menarik napas panjang, memberikan waktu untuk memahami apa yang dirasakan diri sendiri, apa nilai-nilai diri yang diyakini,  memunculkan empati untuk memahami situasi yang terjadi, mencari tahu apa yang dirasakan oleh murid dengan hadir secara penuh.  Guru akan memilih untuk bertanya pada murid tersebut untuk memahami apa yang terjadi. Respon guru yang berkesadaran penuh akan dapat membangun koneksi dan rasa percaya murid pada guru. Koneksi, rasa aman dan rasa percaya di antara guru dan murid akan memperkuat relasi murid dan guru sehingga dapat menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang kondusif bagi pembelajaran. Relasi yang terbangun antara guru dan murid akan mendorong guru untuk membuat keputusan yang lebih responsif.Di sisi lain, lingkungan belajar dan suasana belajar yang kondusif akan membantu tumbuhnya kesadaran diri murid tentang perasaan, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai yang dimiliki dengan lebih baik. Tumbuhnya kesadaran sosial yang lebih baik yang didasarkan pada perhatian yang bertujuan juga akan membantu murid dalam memproses informasi secara lebih baik.  Jika murid dapat mengikuti proses pembelajaran secara lebih baik, maka secara perlahan tumbuh optimisme dan tingkat efikasi dalam dirinya.

 

Koneksi Antar materi Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan Pembelajaran Berdiferensiasi

Gambar 3. Koneksi Pembelajaran Berdiferensiasi dan PSE

Menurut Tomlinson (2001: 45), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap peserta didik. Melalui pembelajaran berdiferensiasi guru dapat melayani pemenuhan kebutuhan peserta didik, karena pembelajaran berdiferensiasi berakar dari apa kebutuhan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik. Menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ peserta didik untuk belajar.

Pembelajaran social emosional dibutuhkan dalam pembelajaran berdiferensiasi. Bagaimana guru menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Mempersiapkan kesadaran diri untuk sepenuhnya hadir baik fisik maupun pikiran pada pembelajaran. Pengelolaan diri untuk mengelola emosi dan fokus pada tujuan yang akan dicapai. Keterampilan social untuk berempati, saling menghargai dalam menyelesaikan tugas. Keterampilan berelasi untuk bekerja sama dan berbagi peran dalam kelompok agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Serta kemampuan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dalam berbagai permasalahan yang dihadirkan dalam pembelajaran yang berdiferensiasi.

Dengan penguasaan keterampilan social emosional yang baik serta pembelajaran yang berdiferensiasi, maka murid akan menunjukkan kinerja yang lebih baik jika tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan keterampilan dan pemahaman yang mereka miliki sebelumnya (kesiapan belajar). Lalu jika tugas-tugas tersebut memicu keingintahuan atau hasrat dalam diri seorang murid (minat), dan jika tugas itu memberikan kesempatan bagi mereka untuk bekerja dengan cara yang mereka sukai (profil belajar. Jika kebutuhan belajar murid terpenuhi, dan keterampilan sosial-emosional dapat dikuasai, maka well being akan tercipta.

Sumber: 

Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi (Pendidikan Guru Penggerak)

Modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional (Pendidikan Guru Penggerak)

 

 



  AKSI NYATA MODUL 3.3 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID   JURNAL LITA JURNAL LITERASI dan BERCERITA SEBAGAI PROGRAM MEN...